Candi Plaosan: Mas Kawin Simbol Cinta, Sejarah, dan Misteri Batu
- Instagram @candiplaosanofficial
Viva Semarang, Wisata – Berdiri anggun di tengah hamparan sawah hijau di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Candi Plaosan memancarkan pesona sejarah dan romantisme. Lebih dari sekadar bangunan kuno, candi ini menyimpan kisah cinta seorang raja kepada permaisurinya, jejak toleransi antarumat beragama, dan misteri tentang pembangunannya.
Kisah yang melegenda di masyarakat sekitar mengisahkan bahwa Candi Plaosan dibangun oleh Rakai Pikatan, seorang raja dari Kerajaan Mataram Kuno yang beragama Hindu, sebagai persembahan cinta dan "mas kawin" untuk permaisurinya, Pramodhawardhani, yang beragama Buddha. Candi yang indah ini, merupakan simbol kesungguhan cinta raja dan upaya mempersatukan perbedaan.
Berdasarkan sumber dari eJournal Universitas Widya Mataram Yogyakarta menyebutkan, "Candi Plaosan dibangun oleh pasangan suami istri yang berbeda agama yaitu Rakai Pikatan yang beragama Hindu dan Pramodawardani beragama Budha. Sehingga Candi Plaosan adalah Candi hasil akulturasi dua agama yang berbeda yang menggambarkan kekuatan toleransi beragama pada masa kerajaan Mataram pada saat itu. Pemugaran Candi Plaosan sudah dimulai sejak tahun 1940 hingga saat ini," begitu tertulis di eJournal tersebut.
Jejak Sejarah dan Toleransi di Balik Batu
Data di papan informasi di Candi Plaosan menyebutkan, pembangunan Candi Plaosan diperkirakan terjadi pada abad ke-9 Masehi, pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno. Dugaan kuat mengarah pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (sekitar tahun 840-856 M) dan Pramodhawardhani. Inskripsi yang ditemukan di sekitar lokasi, serta catatan sejarah dari masa tersebut menjadi dasar analisis ini.
"Candi Plaosan memadukan arsitektur Hindu dan Buddha. Kompleks candi ini terdiri dari dua kelompok utama, Candi Plaosan Lor (utara) dan Candi Plaosan Kidul (selatan), yang menampilkan perpaduan elemen desain dari kedua agama. Candi-candi perwara dengan atap ratna khas Hindu berdiri berdampingan dengan stupa-stupa candi," demikian tertulis di papan informasi.
Relief-relief yang menghiasi dinding candi juga menampilkan narasi dari kedua kepercayaan, menjadi bukti kuat akan toleransi dan akulturasi budaya yang berkembang pada masa itu," demikian ditulis di lembaga yang mengampu purbakala Indonesia.