Sekelompok Orang Kembali Geruduk Rumah Pengusaha Buntut Polemik Tambang Emas
- Puluhan Orang Geruduk Kantor perusahaan Bahana Lintas Nusantara Terkait Tambang Emas
Salatiga - Konflik antara perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) grup dengan warga di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua masih berlanjut. Kali ini anak pemilik lahan mendatangi kota Salatiga untuk menuntut penyelesaian polemik terkait pembukaan lahan yang rencananya akan digunakan sebagai area tambang emas.
Barnamas Jasa (32 tahun) selaku anak pemilik lahan meminta pertanggung jawaban dari Nicholas Nyoto Prasetyo atas pembukaan lahan di tanah adat keluarganya,dengan menggelar aksi pembentangan berbagai spanduk dan poster.
" Waktu saya hanya dua hari ini dan besok. Kalau Nico tidak bisa membayar tuntutan keluarga besar saya sebesat Rp 20 miliar, Nico harus ikut saya ke Papua kembalikan kondisi tanah adat kami yang telah dirusak," ungkap Barnamas. Selasa(25/6/2024).
Barnamas Jasa tidak datang sendiri ke rumah Nico, namun bersama sejumlah orang yang menjadi perwakilan pemilik lahan serta penasehat hukum. Ia manambahkan jika tujuannya ke Salatiga untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi hingga selesai.
" Yang terus menjanjikan untuk bertemu Nico adalah Supri. Jadi, dua orang ini harus bertanggung jawab atas rusaknya hutan kami. Hukum saja ada aturan, apalagi hutan adat kami. Nico sudah melanggar adat kami," imbuhnya.
Sementara itu, Petrus Wekan, mantan pengacara pemilik lahan yang juga mendatangi Kota Salatiga, memberikan keterangan duduk perkara masalah yang saat ini terjadi. Petrus menyebut, permasalahan yang carut-marut ini merupakan kesalahpahaman antara kedua belah pihak.
" Rencana pembukaan tambang emas itu bermula saat adanya temuan potensi emas yang diketahui oleh Marten Basaur dan Wiliam Sroyer. Kemudian mereka membutuhkan investor dan didatangkan investor dari Nusantara grup, yakni Nicholas Nyoto Prasetyo dengan penghubung Ismail Sroyer yang merupakan putra Papua. Selanjutnya mereka melakukan kontrak kesepakatan kerjasama," jelas Petrus.
Dikatakan juga oleh Petrus, Dalam kesepakatan kerja ini, bukan Marten Basaur dan Pak Sroyer yang mendapatkan kuasanya, tapi pak Max Ohe. Karena Max Ohe merupakan wakil ketua MRP ( Majelis Rakyat Papua).
" Menurut pak Nicho kalau memberikan kuasa kepada individu akan riskan. Selain itu, Max Ohe juga punya organisasi Barisan Merah Putih (sehingga pelaksana di lapangan diberikan)," imbuhnya. Saat dijumpai di Salatiga, Selasa (25/6/2024).
Dikatakan, lebih lanjut oleh Petrus bahwa telah ada kesepakatan kerja untuk membuka tambang emas antara Max Ohe sebagai pelaksana dan pemilik lahan Yohan Jasa. Namun konflik itu muncul setelah adanya permintaan uang masuk dan permintaan uang adat untuk permisi. Pihak Max Ohe sudah memberikan uang sebesar Rp 20 juta.
" Kemudian tidak tahu bagaimana, ada permintaan uang Rp 300 juta, setelah lahan diratakan. Sedangkan dalam perjanjian itu tidak ada," jelas Petrus.
" Hal itulah yang membuat konflik ini berlarut-larut hingga warga Papua mendatangi rumah investor tambang yang berada di Salatiga untuk meminta pertanggungjawaban hutan yang telah diratakan," lanjutnya.
Diakuinya, kedatangan dirinya langsung di Salatiga sebenarnya untuk memberikan bantuan kepada Marten Basaur. Sebab dirinya mendapatkan informasi Marten melakukan tindakan anarkis di Salatiga. Sedangkan investor tidak terlibat secara langsung di lapangan. Sehingga kedatangan Marten di Salatiga untuk menemui investor salah alamat,pungkas Petrus.